لا يكلف الله نفسا إلاوسعها

Jumat, 19 Oktober 2012

PEDOMAN PENYUSUNAN KARYA TULIS MTS NURUL HUDA 2011









Pedoman
Penyusunan




KARYA TULIS
MTs NURUL HUDA
Jl. Kauman No. 01 Tlogorejo
Kec. Tegowanu Kab. Grobogan 58165
Phone. 0828-2790400
e-mail :  HYPERLINK "mailto:mtsnurulhuda742@gmail.com" mtsnurulhuda742@gmail.com
            Tim Penyusun






KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, atas limpahan rahmat dan karuniaNya buku Pedoman Penyusunan Karya Tulis ini dapat dihadirkan ke hadapan pembaca.
Sebuah upaya sederhana untuk melestarikan dan menstandarkan sesuatu yang sudah menjadi tradisi setiap tahun di MTs Nurul Huda Tlogorejo. Orang bilang melestarikan lebih sulit daripada memulai, kami pikir tidak berlebihan pandangan seperti itu, karena dalam melestarikan selalu ada dua hal yang tidak termaktub dalam peraturan atau perundangan manapun, namun sudah merupakan konvensi publik. Tanpa dua hal tadi tidak ada pelestarian kecuali hanya sebuah pengulangan atau cetak ulang belaka.
Sesuai dengan judulnya, buku ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para peserta didik MTs Nurul Huda Tlogorejo dalam merancang, menyusun dan penulisan Karya Tulis , disamping sebagai sarana untuk penyeragaman dalam penulisan Karya Tulis.
Kami yakin buku Pedoman Penyusunan Karya Tulis ini belum bisa memenuhi apa yang menjadi harapan bersama, karenanya kami mengharap kritik dan saran pembaca untuk koreksi pada masa selanjutnya.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesaikannya penerbitan buku ini. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Tim Penyusun


SAMBUTAN
KEPALA MADRASAH
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, seraya dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT dan menyampaikan ucapan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW buku Pedoman Penyusunan Karya Tulis MTs Nurul Huda Tlogorejo dapat diterbitkan.
Sebagai sebuah pedoman, buku ini selayaknya menjadi rujukan peserta didik dalam proses penulisan maupun pembimbingan Karya Tulis. Oleh karenanya, peserta didik dituntut mampu berkomunikasi dengan para pembimbing dalam mencermati makna pedoman ini. Demikian juga sebaliknya, pembimbing diharapkan dapat memberikan arahan dan bimbingan dengan memberikan pemahaman yang cukup terhadap pedoman ini, dengan tetap menghargai kebebasan pemahaman dan pengetahuan peserta didik.
Melalui pengantar ini, Kepala Madrasan dan warga MTs Nurul Huda Tlogorejo memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada Tim Penyusun yang telah bekerja keras untuk mengakomodasi keragaman ide yang berkembang dari para Tim Penyusun sehingga terwujud buku pedoman penyusunan Karya Tulis ini. Semoga jerih payah ini bermanfaat bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan serta peningkatan kualitas intelektualitas di MTs Nurul Huda Tlogorejo.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT ikhtiar ini kembali dan kepada para pembaca diharapkan memberi masukan dan kritik membangun untuk perbaikan selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Tlogorejo,    Januari 2012
Kepala Madrasah,
Hasan Alifi, S.Ag
NIP. ---






















LEMBAR KONSULTASI DAN BIMBINGAN KARYA TULIS
MTs NURUL HUDA TLOGOREJO
TEGOWANU GROBOGAN
Nama               : ………………………………………………………………………………
NIM                : ………………………………………………………………………………
NISN              : ………………………………………………………………………………
Pembimbing    : ………………………………………………………………………………
Judul Karya Tulis        : ………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………
NO.HARI/TGLMATERI BIMBINGANTTD PEMBIMBING




































       I.            Ketentuan Umum
1.      Karya Tulis adalah hasil laporan kunjungan ke suatu objek untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang ditulis peserta didik dalam rangka memenuhi salah satu tugas dan syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional (UAMBN) dan Ujian Nasional (UN).
2.      Tema Karya Tulis diangkat dari objek wisata yang telah ditentukan sesuai dengan kelompok rihlah ilmiah.

    II.            Tata Cara Penulisan

1.      Penulisan Karya Tulis menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar mengacu pada pedoman umum Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
1.Penulisan istilah yang berasal dari bahasa asing, daerah, dan rumus matematis, ditulis miring (italic).
2.      Untuk menghindari subjektivitas, penulisan Karya Tulis tidak diperbolehkan menggunakan kata ganti saya, aku, kami, atau kita kecuali kata pengantar, atau dapat disusun dalam bentuk kalimat pasif.
3.      Penulisan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits sesuai dengan aslinya, memperhatikan tanda baca yang tertera, disertai syakal-nya serta menyebutkan nama surat dan nomor ayat untuk teks Al-Qur’an dan menyebutkan sanad, matan dan rawi untuk teks Al-Hadits.
 III.            Bentuk dan Format Penulisan
1.      Naskah Karya Tulis diketik menggunakan jenis huruf standar, yakni Times New Roman berukuran 12 point, kecuali judul Karya Tulis dengan huruf kapital berukuran 16 point dicetak tebal.
2.      Panjang Karya Tulis minimal 25 lembar, mulai dari BAB I sampai dengan Daftar Pustaka.
3.      Kertas yang digunakan untuk penulisan Karya Tulis adalah kertas A4 / kwarto (21,5 x 29,7 cm).
4.      Batas pengetikan (margin) : atas dan kiri 4 cm, kanan dan bawah 3 cm, header 2 cm, dan footer 1,5 cm.
4.Setiap satu lembar kertas kwarto hanya digunakan satu halaman saja (tidak bolak-bailk), diketik dengan 2 spasi.
5.      Alinea baru dimulai pada ketukan ketujuh dari margin kiri.
6.      Halaman judul, persetujuan, pengesahan, motto dan persembahan, kata pengantar, dan daftar isi diberi nomor romawi kecil (i, ii, iii, iv, dst) dan diletakkan di bawah di tengah halaman.
7.      Halaman Karya Tulis diberi nomor urut dengan angka 1, 2, 3, dst dan diletakkan di kanan atas halaman, kecuali halaman yang ada babnya, nomor halaman diletakkan di bawah di tengah halaman.
8.      Daftar pustaka ditempatkan di akhir Karya Tulis dengan jarak satu (1) spasi dan tidak menggunakan nomor urut. Sedangkan jarak antara dua sumber pustaka satu setengah spasi (1.5).
9.      Daftar Pustaka ditulis dengan urutan : nama pengarang (nama kedua), koma, nama lengkap (tanpa gelar), koma, judul buku (italic), koma, jilid/volume, koma, tempat penerbitan, titik dua, nama penerbit, koma, tahun penerbitan, koma, nomor cetakan.
10.  Daftar pustaka minimal menggunakan 3 (tiga) buku referensi.
11.  Penulisan nama pengarang disusun secara alfabetik.
12.  Penguji, Jadwal Ujian, dan Pengumpulan Karya Tulis :
·         Penguji dan jadwal ujian Karya Tulis dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh MTs Nurul Huda Tlogorejo.
·         Karya Tulis yang telah diujikan dan telah mendapatkan tanda tangan Pembimbing dan Penguji dijilid dengan cover warna hijau dan diserahkan ke Tata Usaha sebanyak 2 (dua) eksemplar.
·         Penilaian Ujian Karya Tulis
·Penilaian masing-masing penguji diberikan terhadap keseluruhan komponen jawaban dan konsistensinya sejak awal hingga akhir ujian.
·Penilaian ujian Karya Tulis meliputi : kemampuan jawaban 60%, bobot isi 25%, dan format atau tata tulis dan bahasa 15%.
·         Ujian Karya Tulis Ulangan
·Karya Tulis tidak sesuai dengan aturan-aturan yang telah disebutkan di atas.
·         Peserta didik yang gagal diberi kesempatan ujian ulangan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali.
·         Ujian Karya Tulis ulangan dilaksanakan setelah peserta didik yang bersangkutan telah merevisi minimal 7 (tujuh) hari setelah ujian utama.
·         Sanksi
·Jika sampai batas waktu yang telah ditentukan peserta didik tidak mengumpulkan karya tulis, maka peserta didik tetap diwajibkan mengumpulkan Karya Tulis yang telah diujikan dan ditambah 2 (dua) buku bacaan dengan judul bebas.
·
13.  Penguji Karya Tulis adalah pendidik/guru di lingkungan MTs Nurul Huda Tlogorejo.
13.





































Contoh Riwayat Hidup Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

LinaLINA MAWADDAH, lahir di Grobogan, 1 Januari 1990. Setelah menamatkan Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita, Tlogorejo, Tegowanu pada tahun 1996, ia melanjutkan pendidikan pada Sekolah Dasar 3 Tlogorejo, Tegowanu dan tamat pada tahun 2002. Setelah itu pendidikannya dilanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Nurul Huda Tlogorejo, Tegowanu pada tahun 2005.
Pada tahun pelajaran 2002/2003 ia masuk ke dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) MTs Nurul Huda Tlogorejo, Tegowanu dengan jabatan sebagai Bendahara. Selanjutnya pada tahun pelajaran 2003/2004 pada madrasah yang sama ia terpilih lagi menjadi anggota OSIS dengan jabatan Sekretaris.
Dst …





























Contoh Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA




Abu Daud, Imam, Ikhtisar Sunan Abu Daud, Semarang: Toha Putra, 1985.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Solo: Qomari Prima Publisher, 2007.
Imam Nawawi, M., 300 Hadits Bekal Da'wah, Kudus: Menara Pelajar, 1980.
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.





















Contoh Sistematika Penulisan
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penulisan
Pembatasan Masalah
Metode Penulisan
Sistematika Penulisan
BAB II            PEMBAHASAN
Silsilah Sunan
Asal-usul
Metode Dakwah
Karomah
Karya-karya
Jasa-jasa
Tempat Pemakaman
BAB III          KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT PENULIS

























Contoh Kata Pengantar
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayahNya, sehingga Karya Tulis yang berjudul "MENGENAL OBYEK WISATA PANTAI TANJUNG KODOK LAMONGAN" ini dapat kami selesaikan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna mengikuti Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional (UAMBN) dan Ujian Nasional (UN) Tahun Pelajaran 2011/2012.
Laporan Karya Tulis ini dapat tersusun berkat bantuan dari berbagai pihak dan pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
Bapak Hasan Alifi, S.Ag, selaku Kepala MTs Nurul Huda Tlogorejo.
Bapak M. Akhtar Adila, S.Ag, selaku guru pembimbing Karya Tulis.
Bapak M. Akhsanu Amala, S.H.I, selaku Wali Kelas III A.
Bapak/Ibu guru MTs Nurul Huda Tlogorejo.
Ayah, ibu, kakak, dan adikku tercinta.
Teman-temanku semuanya.
dst …
Mengingat keterbatasan pengetahuan penulis, maka kami menyadari laporan Karya Tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharap dengan sangat atas saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan Karya Tulis ini.
Harapan penulis semoga Karya Tulis ini bermanfaat dan sekaligus sebagai penghormatan dalam makna hidup kita selaku insan kepada kholiqnya. Amin.


Tlogorejo,   Februari 2012
Penulis,
M. Rifqy Adila
NIS. 1901
























Contoh Halaman Motto dan Persembaan
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Ilmu yang tiada diamalkan adalah kosong, pekerjaan tiada diselesaikan adalah sia-sia.
Cintailah Allah SWT dan Ia akan tinggal denganmu.
dst …
PERSEMBAHAN
Karya Tulis ini akan kami persembahkan kepada:
Bapak Hasan Alifi, S.Ag, selaku Kepala Madrasah Tsanawiyah Nurul Huda Tlogorejo.
Bapak M. Akhtar Adila, S.Ag, selaku guru pembimbing Karya Tulis.
Bapak M. Akhsanu Amala, S.H.I, selaku Wali Kelas III A MTs Nurul Huda Tlogorejo.
Ayah dan ibuku tercinta.
Kakak dan adikku tersayang
dll …

































Contoh Halaman Judul
MENGENAL OBYEK WISATA
PANTAI TANJUNG KODOK LAMONGAN
KARYA TULIS
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Mengikuti Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional (UAMBN)
dan Ujian Nasional (UN)
Tahun Pelajaran 2011/2012
Oleh                : M. RIFQY ADILA
NIS                 : 1901
NISN              : 9938414234
MADRASAH TSANAWIYAH (MTs)
"NURUL HUDA"
TLOGOREJO TEGOWANU GROBOGAN
TAHUN 2012

























Contoh Halaman Persetujuan
HALAMAN PERSETUJUAN
Karya Tulis ini dengan judul "MENGENAL OBYEK WISATA PANTAI TANJUNG KODOK LAMONGAN" telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing pada :
            Hari                 :
            Tanggal           :         Februari 2012
Tlogorejo,      Februari 2012
Guru Pembimbing,
M. Akhtar Adila, S.Ag
Nip. --






























Contoh Halaman Pengesahan
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Tulis ini dengan judul "MENGENAL OBYEK WISATA PANTAI TANJUNG KODOK LAMONGAN" telah disetujui oleh pembimbing dan disahkan oleh Madrasah Tsanawiyah Nurul Huda Tlogorejo pada :
Hari                 :
Tanggal           :         Februari 2012
Tlogorejo,  Februari 2012
Guru Penguji,                                                                                           Guru Pembimbing,

…………………………………                                                            M. Akhtar Adila, S.Ag
NIP. --                                                                                                     NIP. –


Mengetahui,
Kepala Madrasah Tsanawiyah
NURUL HUDA TLOGOREJO
Hasan Alifi, S.Ag
NIP. –

Kamis, 18 Oktober 2012




Top of Form
Bottom of Form
KH Hasyim Asy’ari, Sang Penjaga Islam Tradisional

voaislam
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’arie, bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau Ashari, lahir 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H) dan wafat pada 25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.

Keturunan Raja Pajang
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga Kyai. Kakeknya, Kyai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Berikut silsilah lengkapnya. Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy’ari (Jombang), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
Pendidikan
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.



Kesan Akhlak dan Kecerdasan
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.
Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.
Perjuangan dan Penjajahan
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.
Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Mendirikan Benteng Islam Tradisional
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Kisah Pendirian Nahdhatul Ulama’
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.
Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).