KH Hasyim
Asy’ari, Sang Penjaga Islam Tradisional
voaislam
Kyai
Haji Mohammad Hasyim Asy’arie, bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari
atau Ashari, lahir 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H) dan wafat pada 25 Juli
1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, adalah pendiri Nahdlatul Ulama,
organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
Keturunan Raja Pajang
KH
Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai
Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya
bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka
Tingkir (Sultan Pajang).
Hasyim
adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih
terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja
Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga Kyai. Kakeknya, Kyai Utsman
memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri,
Kyai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.
Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh
kepada Hasyim.
Berikut
silsilah lengkapnya. Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir),
Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul
Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy’ari (Jombang), KH. Hasyim Asy’ari
(Jombang)
Pendidikan
Sejak
anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di
antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13
tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang
dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana
memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi
santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren
Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan
berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan,
Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.
KH
Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman
yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau
berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di
Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang,
Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Tak
lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren
yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan
sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang
berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim
menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem
berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat
ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan
Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim
bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan
di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.
Tahun
1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama
7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At
Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani,
Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin
Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.. Tahun l899 pulang ke Tanah Air,
Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia
mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan
juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari
dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia
memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan
menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim
menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun
1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh
Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik
yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur
Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang
terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari
tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar
dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang
dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan
kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah
dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri
tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil
yang menggembirakan.
Kyai
Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh
Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak,
yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6)
Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10)
Muhammad Yusuf.
Pada
akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali
dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo,
Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri,
yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Kesan Akhlak dan Kecerdasan
Pernah
terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim
Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan.
Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil,
begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.
Kyai
Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan
kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya,
seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan,
akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa
merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan
kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa
kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada
Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa
berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya,
ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju
tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke
kaki gurunya.
Sesungguhnya
bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan
itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah
kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati,
dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru
kita.
Mbah
Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri
NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh
sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan
Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus
pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama,
tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu
Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits
Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian
ummat Islam.
Maka
tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk
mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai
Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim
kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul
Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim
(anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah
menjadi santri Kyai Hasyim.
Tak
pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling
penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’,
mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin
lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para
pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada
Kyai Hasyim.
Perjuangan dan Penjajahan
Karena
pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian
serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di
antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya.
Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan
bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian
sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana.
Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda.
Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama
secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung.
Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan
niatnya.
Namun
sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan
Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan
penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta
ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.
Masa
awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya
perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak
segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah.
Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada
tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di
Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga
tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim
dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam
pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu
menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari
jeratan hukum.
Belum
puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan
untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu.
Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab
dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung
hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada
bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati,
dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia
berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya
masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada
Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai
upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah
satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh
beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim
menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke
arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar
Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini
juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap
kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kyai
Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah,
bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara
berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya
ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus
Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut
ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik
sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah
penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren
Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus
Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke
Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal
18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang
karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai
Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam
menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal
22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration)
yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin
Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan
mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi
Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad
ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang
rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat
Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan
membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris.
Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Pada
tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di
Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim
Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi
umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua
Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama
masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur,
penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti
GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman
dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Mendirikan Benteng Islam Tradisional
Kemampuannya
dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di Mekkah.
Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur
itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad
Khatib Al Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad
Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang
perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang
giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana
diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat
Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi
Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik
perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk
Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam
untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang
sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di
tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam
untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat,
mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk
memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat
memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial,
politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat
Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab
dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad
Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa
hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang
mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang
kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya
juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak
pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia
berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya
dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat
para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al
Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab
hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap
bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan
ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki
kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan
bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok
tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis,
sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya
adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu
diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk
dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena
aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab
agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam
Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.
Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan
aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai
Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama
(NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah
NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika
beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam
Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai
Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik
Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Penjajahan
panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar
untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan
Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga
muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun
1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari
situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat
itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan
adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta
lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa
kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab
Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid
hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama
terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan,
sosial, dan politik.
Pada
masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi
sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua
peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin,
karena dianggap bid’ah.
Di
Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan
H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati
keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan
penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan
dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam
Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan
mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong
oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian
terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh
pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang
diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu
Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula
tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana
tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan
ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional
kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab
dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat
berharga.
Kisah Pendirian Nahdhatul Ulama’
Tahun
1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan
mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh
KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan
salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti
sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam
hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif,
Bangkalan.
Sementara
nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai
Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad
Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk
menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga
dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai
Hasyim.
Ketika
Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya
langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan
tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu
terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi.
Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu
tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh.
”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda
Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan
As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara
Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela
tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih.
Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya
juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kyai
Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,”
tambah As’ad.
Kehadiran
As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh
menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya
mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui
salat istikharah.
Sayangnya,
sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih
dahulu.
Pada
tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi
didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai
Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi
organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana
diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat
pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh
dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi
Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari
pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi
pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali
doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini
Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan
meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat
Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera
yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa
dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun
1912).
Kyai
Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali
ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab.
Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau
Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas
dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan
Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil
menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada
saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala
Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat
sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar