Jawablah pertanyaan-pertanyaan dibawah ini dengan jelas !
- Tentang Ulumul Qur’an :
a. Jelaskan pengertian
Ulumul Qur’an segi lughawi dan istilahi !
b. Bagaimana hubungan
Ulumul Qur’an dengan tafsir Al Qur’an ?
c. Jelaskan lingkup
pembahasan Ulumul Qur’an !
- Al Qur’an dijamin kemurniannya oleh Allah sehingga sampai saat ini tanpa ada keraguan sama sekali atas kebenarannya.
a. Jelaskan
faktor-faktor yang menjamin kemurnian al Qur’an !
b. Berikan dalil yang
mendukung atas faktor tersebut !
c. Bagaimana
pemeliharaan al Qur’an pada masa Nabi saw ?
- Tentang Fawatihus Suwar :
a. Apa itu fawatihus
suwar ?
b. Jelaskan macam-macam fawatihus suwar ! berikan contohnya.
- Di dalam ulumul Qur’an terdapat istilah tasyabuh atau mutasyabihat :
a. Jelaskan maksudnya !
b. Jelaskan sebab-sebab
terjadinya tasyabuh/mutasyabih dalam al Qur’an !
c.
Berikan contohnya ?
- Al Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf/sab’ah al ahruf .
a. Tuliskan hadits
tentang sab’ah al ahruf !
b. Ada 8 Mufasir yang memberikan interpretasi mengenai
maksud sab’ah al ahruf. Jelaskan !
6. Ilmu Qiraat :
a. Jelaskan pengertian Ilmu
Qiraat !
b. Uraikan ilmu Qiroat sebagai
Istimbat hukum !
c. Berikan
contoh minimal 2 ilmu Qiraat sebagai Istimbat hukum dan berikan alasan atau penjelasannya !
7. Jelaskan apa saja yang kamu ketahui tentang Israiliyat
8. Apa kegunaan dan manfaat belajar ulumul Qur’an ? Jelaskan
Jawaban :
1. 1.
Pengertian dan Lingkup pembahasan
Ulumul qur’an
a.
Pengertian ulumul qur’a
§
Secara etimologi, kata
Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum”
dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti
ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan
pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan
dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari
segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya.
§
Sedangkan menurut
terminologi adalah :
علم يبحث فيه عن احوال
الكتاب العزيز من جهة نزوله وسنده وادابهوالفاظه ومعانيه المتعلقة بالاحكام
وغير ذالكّ.
“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi
turunya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan
lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan
sebagainya”.[1]
b.
hubungan Ulumul Qur’an dengan tafsir Al Qur’an
Ilmu Tafsir adalah
salah satu organ tubuh ulum Alquran yang digunakan untuk memahami
Alquran dari segi pengungkapan petunjuk, kandungan-kandungan hukum, dan
makna-makna yang terkandung di dalam lafadzh-lafadzh Alquran yang masih samar
pengertiannya. Sementara Usul tafsir juga adalah suatu cabang dari ulum Alquran
yang membahas ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah yang diperlukan dan harus diketahui
untuk menafsirkan Alquran.[2]
c.
Lingkup pembahasan Ulumul Qur’an
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu
yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an meliputi
semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama,
seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan
ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup
di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang
ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian
dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an
terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat
dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an
mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini
masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan
kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung
2. 2..
Al Qur’an dijamin kemurniannya oleh Allah sehingga sampai saat ini tanpa
ada keraguan sama sekali atas kebenarannya.
a.
faktor-faktor yang menjamin kemurnian al Qur’an
b.
dalil yang mendukung atas faktor tersebut.
1)
Masa Turunnya
Al-Qur-an
diturunkan secara berangsur-angsur dalam waktu lebih kurang 23 tahun. Menurut
beberapa riwayat, setelah bi`tsah, Rosululloh Saw hidup di Mekah selama 13
tahun, kemudian hijrah kemadinah dan bermukim dikota ini hingga akhir hayatnya,
yakni selama 10 tahun. Ibn Abbas mengatakan, Rosululloh diangkat sebagai nabi
dan rosul dalam usia 40 tahun. Setelah bi`tsah beliau tinggal di Mekah 13 Tahun
dan selama itu beliau menerima wahyu. Beliau wafat dalam usia 63 tahun.
Beberapa sumber riwayat memperkirakan masa turunnya wahtu seluruhnya 20 tahun,
tetapi ada juga yang memperkirakan kurang lebih 25 tahun, namun yang masyhur
adalah 23 tahun. Menurut al-Sya`bi, al-Qur-an mula-mula turun pada malam qodar
(lailatul qodar). Setelah itu, ia terus diturunkan secara berangsur-angsur.
Pendapat ini berdasarkan pada firman Alloh Swt.
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.” {Q.S Al-Qodr (17) : 106}
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلا
“Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” {Q.S Al-Isro (17) : 106}
Tujuan Al-Qur-an diturunkan secara berangsur-angsur itu adalah agar Rosululloh Saw dan para sahabatnya dapat menyimak, memahami, mengamalkan, dan memeliharanya dengan baik. Rosululloh membacakannya di hadapan para sahabatsecara perlahan-lahan dan para sahabat membacanya sedikit demi sedikit.
Selain itu al-Qur-an diturunkan berkaitan dengan suatu peristiwa, baik bersifat individual maupun social (kemasyarakatan). Dengan cara seperti ini proses pemeliharaan kemurnian al-Qur-an berjalan dengan sendirinya.
Demikian pula mengenai lailatul qodr yang menandai permulaan turunnya al-Qur-an. Penetapan mala mini dimaksudkan agar manusia dapat mengingatnya, sehingga ia akan terus diingat dan dikenang. Ini juga merupakan bentuk lain dari upaya pemeliharaan kemurnian al-Qur-an, disamping menunjukan ke agunganNya.
Disetiap zaman Alloh menciptakan orang-orang yang dengan mudah dapat menghafal ayat-ayat al-Qur-an. Alloh Swt menegaskan dalam firmanNya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” {Q.S al-Hijr (15) : 9}
2)
Yang Menyampaikan Al-Qur-an.
Al-Qur-an
memberi informasi bahwa ia diturunkan dari lauh mahfudz ke dunia melalui
Malaikat Jibril. Lauh Mahfudz adalah tempat yang terpelihara semacam disket
dalam system computer yang terpelihara secara apik dari gangguan dan
pengrusakan. Hal ini dijelaskan dalam ayat yang berbunyi:
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ. فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ.
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lohmahfuz.” {Q.S Al-Buruj (85) : 21-22}.
3)
Penerima Al-Qur-an
Sebagaimana
disebutkan di atas, wahyu dari Alloh Swt disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw
melalui malaikat Jibril. Sebagai penerima wahyu, Nabi Muhammad dianugrahi Alloh
sifat-sifat mulia yang mustahil ia berdusta. Akhlaq beliau sangat agung. Hal
ini ditegaskan Alloh dalam firmanNya:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”{Q.S Al-Qolam (68) : 4}
4)
Para Penulis Al-Qur-an
Al-Qur-an
terdiri dari 6666 ayat yang dihimpun dalam 114 surat, mulai dari surat
al-fatihah sampai surat an-Nas, kemurnian dan keaslian ayat-ayat tersebut dapat
dilihat antara lain dari proses penulisannya. Wahyu pertama yang diterima Nabi
ialah ayat 1 s/d 5 surat al-Alaq, ketika beliau berada di Gua Hiro, sedangkan
wahyu terakhir adalah ayat ke 3 surat al-Maidah, pada waktu beliau wukuf di
arofah melakukan HAji Wada` 9 Zulhijah, tahun ke 10 Hijrah, bertepatan dengan 7
Maret 632 M. Salah satu faktor yang dapat menjamin keaslian dan kemurnian
al-Qur-an ialah teks al-Qur-an itu ditulis sesuai dengan tuntunan dan petunjuk
Rosululloh. Penulisannya dilakukan dihadapan beliau sendiri. Untuk keperluan
penulisan tersebut Rosululloh mengerahkan sejumlah penulis seperti Khulafaur
Rosyidin yang empat, Amir bin Fuhairoh, Ubay bin Ka`ab, Tsabit bin Qois bin
Samas, Zaid bin Tsabit, Mu`awiyyah bin Abi Sufyan, termasuk saudara Abu Sufyan:
Yazid bin Syu`bah, Zubair bin Awwam, Kholid bin Walid, `Alla bin Al-Hadhromy,
Amr bin `Ash, Abdullah bin Al-Hadromy, Muhammad bin Maslamah, dan Abdullah bin
Abdullah bin Ubay bin salul.
c.
pemeliharaan al Qur’an pada masa Nabi saw
1) Pengumpulan Al-Qur’an
dalam dada berupa penghafalan oleh para sahabat
Al-Qur’anul Karim turun kepada Nabi yang ummy
(tidak bisa baca-tulis). Karena itu perhatian Nabi hanyalah dituangkan untuk
sekedar menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat menguasai Al-Qur’an persis
sebagaimana halnya Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah itu ia membacakannya
kepada orang-orang dengan begitu terang agar merekapun dapat menghafal dan
memantapkannya. Yang jelas adalah bahwa Nabi seorang yang ummy dan diutus Allah
di kalangan orang-orang yang ummy pula, Allah berfirman:
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ft öNÍkön=tã ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÏj.tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang
buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dengan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah”.
(Al-Jumu’ah: 2).[3]
Begitu Al-Qur’an datang kepada mereka dengan jelas,
tegas ketentuannya dan kekuasaannya yang luhur, mereka merasa kagum, akal
fikiran mereka tertimpa dengan Al-Qur’an, sehingga perhatiannya dicurahkan
kepada Al-Qur’an. Mereka menghafalnya ayat demi ayat dan surat demi surat.
Mereka tinggalkan syair-syair karena merasa memperoleh ruh/jiwa dari Al-Qur’an.
Ada beberapa faktor yang mendorong minat mereka untuk
menghafal kitab suci Al-Qur’an itu dengan segera, yaitu :
1.
Al-Qur’an berisi berbagai ajaran
dan petunjuk tentang kehidupan yang baik, beradab, dan sejahtera, baik lahir
maupun batin. Ajaran-ajaran dan petunjuk-petunjuk tersebut belum pernah mereka
miliki sebelumnya. Untuk menjaga agar ajaran-ajaran dan petunjuk-petunjuk
tersebut tidak hilang, mereka segera menghafal ayat-ayat al-Qur’an yang telah
mereka terima itu dengan sebaik-baiknya.
2.
Belajar membaca dan mengajarkan
al-Qur’an kepada orang lain merupakan kegiatan ibadah yang paling utama dalam
Islam.
3.
Orang yang terbaik dalam membaca
al-Qur’an dan terbanyak hafalannya akan mendapat prioritas untuk ditunjuk
menjadi imam shalat berjama’ah.
4.
Rasulullah saw sendiri telah
memerintahkan kepada para sahabat agar selalu memelihara al-Qur’an dengan
sebaik-baiknya. Selain memerintahkan, Rasulullah saw juga mengingatkan kepada
para sahabat yang telah melupakan ayat-ayat al-Qur’an yang telah dihafalnya.[4]
Dengan adanya dorongan beberapa faktor itulah, dapat
kita simpulkan bahwa sebelum Rasulullah saw wafat, seluruh isi al-Qur’an telah
terpelihara secara utuh dalam hafalan sejumlah besar sahabat.
2)
Pegumpulan dalam bentuk tulisan oleh para sahabat
Di samping telah menyuruh dan mendorong minat para
sahabat untuk menghafal al-Qur’an, Rasulullah saw juga telah menyuruh mereka
menuliskan ayat-ayat dari kitab suci itu ke atas benda apa saja yang bisa
ditulisi, seperti pelepah tamar, kepingan batu, potongan kayu, sobekan kain,
keratin tulang, dan lembaran kulit binatang yang sudah disamak. Praktik yang
demikian itu telah dijelaskan oleh ‘Utsman ibn ‘Affan ra., berikut ini:
Surat yang banyak ayatnya sering diturunkan kepada
Rasulullah saw. Karena itu, apabila sesuatu dari surat itu diturunkan, beliau
memanggil beberapa orang yang dapat menulis, kemudian beliau memanggil beberapa
orang yang dapat menulis seraya berkata, “Letakkanlah ayat-ayat ini di surat
yang di dalamnya disebutkan begini-begini. Surat al-Anfal termasuk surat-surat
yang pertama kali diturunkan di Madinah dan surat al-Baraah termasuk surat yang
terakhir diturunkan, padahal surat itu sama ceritanya dengan surat al-Anfal.
Karena itu, aku menganggapnya merupakan bagian dari surat al-Anfal. Rasulullah
saw wafat dan beliau tidak pernah menjelaskan hal itu kepada kami.[5]
Rasulullah SAW mempunyai beberapa orang sekretaris
wahyu. Setiap turun ayat Al-Qur’an beliau memerintahkan kepada mereka
menulisnya, untuk memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau
terhadap kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, sehingga penulisan tesebut dapat
melahirkan hafalan dan memperkuat ingatan.
Penulis-penulis tersebut adalah sahabat pilihan yang
dipilih oleh Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan indah tulisannya agar
mereka dapat mengemban tugas yang mulia ini.[6]
Jumlah sahabat yang telah menuliskan al-Qur’an cukup
banyak dan tidak kurang dari 43 orang. Yang terkenal, antara lain Abu Bakar,
Umar ibn al-Khaththab, Usman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abu Sufyan dan dua
orang putranya, yaitu Mu’awiyah dan Yazid, Zaid ibn Tsabit, Sa’id ibn al-‘Ash
dan dua orang putranya, yaitu Abban dan Khalid, Zubair ibn al-Awwam, Thalhah
ibn ‘Ubaidillah, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Amir ibn Fuhairah, Abdullah ibn Rawahah,
Abdullah ibn Sa’id ibn Sarah, Ubai ibn Ka’ab, Tsabit ibn Qais, Hanzhalah ibn
al-Rabi’, Syurahbil ibn Hasanah, ‘Ala ibn al-Hadlrami, Khalid ibn al-Walid,
‘Amr ibn ‘Ash, Mughirah ibn Syu’bah, Mu’aiqib ibn Abi Fathimah, Huzaifah
al-Yamani, dan Huwaithib ibn Abd al-‘Uzza al-Amiri.
Mereka itu semuanya disebut katibu al-wahyi
(para penulis wahyu). Meskipun demikian, yang paling sering bersama Rasulullah
saw dan paling banyak menuliskan ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Madinah
adalah Zaid ibn Tsabit. Hal ini dikarenakan ia adalah sekretaris pribadi
Rasulullah saw. Sesuai dengan jabatannya itu, maka ia selalu menyertai
Rasulullah saw ke mana dan di mana saja beliau berada dan ia pula yang pertama
kali diminta beliau untuk menuliskan sesuatu yang diperlukan, termasuk
menuliskan ayat-ayat al-Qur’an yang baru diturunkan. Adapun para penulis wahyu
yang lain baru diminta Rasulullah saw untuk menuliskan ayat-ayat al-Qur’an
apabila Zaid ibn Tsabit berhalangan. Itulah sebabnya, ayat-ayat al-Qur’an yang
ditulis oleh penulis-penulis wahyu itu tidak sebanyak ayat yang ditulis Zaid.[7]
Perhatian Rasulullah saw terhadap penulisan ayat-ayat
al-Qur’an tidak hanya setelah beliau berada di Madinah, tetapi juga selagi
beliau masih berada di Mekkah. Meskipun pada waktu itu jumlah kaum Muslim masih
sedikit dan sarana untuk penulisan masih langka serta kesempatan untuk
menuliskan ayat-ayat al-Qur’an masih terbatas, catatan-catatan atau
naskah-naskah yang berisi ayat-ayat al-Qur’an dapat saja beredar di antara
mereka.[8]
Akhirnya, dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa semua ayat al-Qur’an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw telah
ditulis oleh para penulis wahyu sebagaimana yang telah didiktekan beliau kepada
mereka, tanpa mengalami perubahan sedikit pun.
3)
Penyusunan Semua Ayat Dan Surat Al-Qur’an Seperti Sekarang
Untuk menjaga kemurnian al-Qur’an, maka Rasulullah saw
tidak hanya menyuruh para sahabat menghafal dan menuliskan ayat-ayat al-Qur’an
secara utuh, tetapi juga sekaligus menetapkan ayat-ayat al-Qur’an pada suratnya
masing-masing.
Ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah
saw telah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk meletakkan ayat-ayat
al-Qur’an pada suratnya masing-masing. Di samping itu, masih banyak lagi
riwayat yang berisi dukungan terhadap pernyataan tersebut. Misalnya, seperti
sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Darda,’Siapa saja yang
telah menghafal 10 ayat dari permulaan surat al-Kahfi, ia akan terpelihara dari
fitnah Dajjal.’ Begitu pula dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan
oleh Umar ra. Katanya, “Ia sering bertanya kepada Rasulullah saw tentang
masalah kalalah.” Beliau kemudian menusukkan jari-jari beliau ke dadanya
seraya bersabda, “Ayat shaif yang terdapat di surat an-Nisa sudah cukup
untukmu.”
Ketiga hadis terakhir tersebut telah memberikan
isyarat kepada kita bahwa ayat-ayat al-Qur’an telah tersusun secara berurutan.
Sebab, jika tidak dipahami demikian, bagaimana mungkin seorang sahabat dapat
mengetahui urutan ayat-ayat al-Qur’an di dalam suatu surat sebagaimana yang
telah disebutkan dalam ketiga riwayat tersebut kalau tidak ada susunan ayat
al-Qur’an pada setiap surat yang telah baku dan diikuti oleh semua orang.
Selain itu, telah pula terbukti bahwa Rasulullah saw
telah membaca beberapa surat al-Qur’an, seperti al-Baqarah, Ali-Imran, dan
an-Nisa yang ayat-ayatnya masing-masing sudah tersusun secara konsisten, baik
dalam shalat maupun khutbah Jum’at dengan didengar oleh para sahabat. Demikian
pula, Rasulullah saw telah membaca surat al-A’raf pada shalat maghrib, membaca
surat Alif Lam Mim Tanzil al-Kitab la raiba fih al-Sajdah dan surat Hal
ata ‘ala al-Insan al-Dahr pada shalat Subuh Jum’at dan membaca surat al-Jum’ah
dan surat al-Munafiqun pada shalat Jum’at serta membaca surat Qaf
dalam khutbah beliau.
Riwayat-riwayat di atas juga telah membuktikan kepada
kita bahwa pada masa Rasulullah saw ayat-ayat al-Qur’an telah disusun beliau
satu-per satu secara berurutan dalam surat masing-masing. Para sahabat juga
jika membaca dan menghafal suatu surat atau beberapa surat al-Qur’an atau
seluruh isi al-Qur’an selalu mengikuti susunan ayat yang telah mereka dengar
dari Rasulullah saw.[9]
Di samping itu lagi, bagaimana mungkin para sahabat
dapat secara terus-menerus membaca dan menghafal al-Qur’an yang berisi berbagai
macam tuntutan dan banyak ayat itu, – baik pada waktu shalat maupun pada waktu
di luar shalat, baik pada waktu belajar maupun waktu mengajarkan al-Qur’an
kepada orang lain – jika tidak ada susunan dan urutan ayat yang sudah baku dan
tetap pada setiap surat? Jika kepada setiap orang diberikan kebebasan membaca
al-Qur’an menurut susunannya sendiri, akan terdapat berbagai versi susunan ayat
pada setiap surat. Kalau sudah demikian jadinya, akan muncul kesulitan di
kalangan sahabat untuk mengontrolnya dan mengoreksi terjadinya kesalahan baca,
padahal Rasulullah saw sendiri telah berpesan, “Apabila salah seorang di antara
kalian telah membuat kesalahan atau tertinggal suatu ayat dalam shalatnya, yang
mendengarnya harus meluruskannya dan memberitahukan ayat yang tertinggal itu.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pada masa
Rasulullah saw semua ayat al-Qur’an telah disusun oleh beliau dalam suratnya
masing-masing. Bahkan, menurut al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi ‘Ulum Alqur’an
dan al-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum Alqur’an, seluruh kaum Muslim
juga sudah sepakat tentang hal itu.[10]
3.
3.Tentang Fawatihus suwar
a.
Pengertian Fawatihus suwar
fawatihis suwar adalah ilmu cabang ulumul qur’an yang
khusus membahas pembukaan surah-surah al-qur’an. Ilmu ini penting sekali untuk
dipelajari supaya orang akan bisa mengetahui rahasia/hikmah Allah Swt di dalam
pembukaan surah-surah kitab al-qur’an.[11]
Dalam catatan As-Suyuthi, ada kurang lebih 20 pendapat
yang berkaitan dengan persoalan ini. Dilafalkan secara terpisah sebanyak huruf
yang berdiri sendiri. Huruf Al-muqaththa‘ah (huruf yang terpotong
potong ) di sebut fawatih suwar (pembukaan surat) menurut as-suyuthi tergolong
dalam ayat mutasyabihah. Itulah sebabnya, banyak telaah tafsir untuk
mengungkapkan rahasia yang terkandung di dalamnya.[12]
b.
Macam-macam Fawatihus suwar
c.
Contoh fawatihus suwar
1)
Istiftah bi al-Sana' (Pembukaan
dengan memakai pujian kepada Allah). Terdapat pada 14 surah, yang terbagi
menjadi dua yaitu:
Isbat li sifat al-Madh (penetapan untuk
sifat-sifat terpuji) seperti lafadz tahmid terdapat pada 5 surah (surah
ke- (1), (6), (18), (34), dan (35). dan Lafadz tabarak, terdapat pada
dua surah (surah ke- (25) dan (67).
2)
Istiftah bi al-Huruf al-Muqatta'ah
(Pembukaan dengan memakai huruf huruf hijaiyyah yang terputus-putus). Pembukaan
seperti ini terdapat di 29
surat dalam al-Qur'an, yang disusun dalam 14 rangkaian huruf sebagai berikut:
Terdiri dari satu huruf (Sad, Qaf, dan Nun),
terdapat pada tiga surah, yaitu: surah ke- 38, 60, dan 68.
Terdiri dari dua huruf, terdapat pada sepuluh surah.
Tujuh surah diantaranya dinamakan haamim, karena surah-surah ini dimulai
dengan huruf ha dan mim. yaitu surah ke (40), (41), (42), (43), (44),
(45), (46). Tiga surah yang lainnya adalah surah ke- (20) yang diawali dengan (طه), surah
ke-27 yang diawali dengan طس dan surah ke-28. (يس) Terdiri dari tiga huruf yang berjumlah
tiga belas surah., yaitu surah ke- (2), (3), (29), (30), (31), dan (32). Adapun
lima surah. Yaitu surah ke- (10), (11), (12), (14), (15). Dua buah surah
lainnya yang diawali dengan tiga huruf adalah surah ke-(26) dan (28).
Terdiri dari empat huruf, yaitu surah al-A’raf
, dan surah al- Ra’ad Terdiri dari lima huruf, yaitu surah Maryam
(19).
3)
Istiftah bi al-Nida' (Pembukaan
dengan memakai kata-kata panggilan atau seruan) yang terdapat pada 10 surah.
Panggilan ini ada dua macam, yaitu:
Panggilan untuk Nabi terdapat pada surah ke-(33),
(65), (66), (73), (74). Panggilan untuk umat manusia terdapat pada surah
ke-(4), (5), (22), (49), (60).
4)
Istiftah bi al-Jumal
al-Khabariyyah (Pembukaan dengan memakai kalimat berita). Adapun struktur
kalimat berita yang dipakai pada awal surat ada dua macam:
Struktur Jumlah Ismiyah, yang menjadi pembukaan
11 surah, yaitu surah ke- (9), (24), (39), (47), (48), (55), (69), (71), (97),
(101), (108). Jumlah Fi'liyah, yang menjadi pembuka 12 surah
sebagai berikut: surah ke-(8), (16), (21), (23), (54), (58), (70), (75), (80),
(90), (98), (102).
5)
Istiftah bi al-Qasam (Pembukaan
dengan memakai kata-kata sumpah). Sumpah yang digunakan dalam al-Qur'an ada
tiga macam, yaitu:
Sumpah dengan benda-benda angkasa, terdapat pada 8
surah, yaitu: surah ke-(37), (53), (77), (79), (85), (86), (89), dan (91).
Sumpah dengan benda-benda yang ada di bumi, terdapat
pada 4 surah yaitu: surah ke- (51), (52), (95), (100).
Sumpah dengan waktu, terdapat pada tiga surah, yaitu
surah ke- (92), (93), (103).
6)
Istiftah bi al-Syart (Pembukaan dengan
memakai kata-kata syarat)
Pembukaan surat dengan menggunakan kata syarat dapat
dijumpai di 7 surat dalam al-Qur'an, yaitu surah ke- (56), (63), (81), (82),
(84), (99), (110)
7)
Istiftah bi al-Amr (Pembukaan
dengan menggunakan kata kerja perintah)
Menurut penelitian para ahli, ada enam kata kerja
perintah yang dipakai dalam pembukaan al-Qur'an, yaitu: Qul, dan
Iqra'. Terdapat pada 6 surah, yaitu: surah ke- (72), (96), (109), (112),
(113), (114).
8)
Istiftah bi al-Istifham (Pembukaan dengan
pertanyaan). Bentuk pertanyaan ini ada dua macam, yaitu:
Pertanyaan positif, bentuk pertanyaan dengan kalimat
positif, terdapat pada 4 surah yaitu surah ke- (76), (78), (88), (107).
Pertanyaan negatif, bentuk pertanyaan dengan kalimat
negatif, terdapat pada dua surah yaitu surah ke-( 94), dan surah ke- (105),
9)
Istiftah bi al-Du'a' (Pembukaan
dengan doa)
Pembukaan dengan doa ini terdapat dalam tiga surah,
yaitu: surah ke-(83), (104), (111)
10) Istiftah bi al-Ta'lil (Pembukaan dengan alasan)
Pembukaan dengan alasan ini hanya terdapat dalam satu
surat saja, yaitu surah ke-(106).
4.
4. Tasyabuh atau Mutasyabihat
dalam Ulumul’Qur’an
a)
Pengertian Mutasyabihat
ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat
kedatangan hari kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqatha’ah.
(Kelompok Ahlussunnah)
b)
Adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Quran adalah
disebabkan tiga hal; yaitu karena kesamaran pada lafal, pada makna, dan pada
lafal dan maknanya.[13]
§
Kesamaran pada Lafal Sebagian
adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Quran itu disebabkan karena
kesamaran pada lafal, baik lafal yang masih mufrad ataupun yang sudah murakab.
Kesamaran pada lafal mufrad, maksudnya adalah ada lafal-lafal mufrad
yang artinya tidak jelas,baik disebabkan lafalnya yang gharib (asing),
atau musytarak (bermakna ganda). Contoh lafal mufrad seperti kata
أَبًّا
dalam ayat 31 surah Abasa : وَفاَكِهَةً وَأَبًّا (dan buah-buahan serta rerumputan).
Kata abban tersebut jarang terdapat dalam al-Quran, sehingga asing.
Kalau tidak ada penjelasan dari ayat berikutnya sulit dimengerti.
§
Kesamaran pada Makna
Ayat Terkadang terjadinya ayat mutasyabihat itu disebabkan
karena adanya kesamaran pada makna ayat. Contohnya seperti makna dari
sifat-sifat Allah swt, makna ihwal hari kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur
dan siksa neraka. Akal pikiran manusia tidak akan bisa menjangkau semua hal
tersebut, sehingga maknanya sulit ditangkap. Hal ini seperti hadis Nabi saw :
مَا لاَ عَيْنٌ رَأَتْ وَلاَ اُذُنٌ سَمِعَتْ وَلاَ خَطَرٌ فِى قَلْبِ
اْلبَشَرِ
Kesamaran dalam hal-hal tersebut, tidak karena
lafalnya yang asing, bermakna ganda, atau karena tertibnya melainkan karena
makna dari lafal-lafalnya tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia.
§
Kesamaran pada Lafal
dan Makna Ayat Terkadang adanya ayat mutasyabihat terjadi disebabkan
kesamaran dalam lafal dan makna ayat-ayat itu. Contoh Q.S. al-Baqarah/2:189. Orang yang tidak mengerti adat istiadat bangsa
Arab pada masa jahiliah, tidak akan paham pada maksud ayat tersebut. Sebab
kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena terlalu ringkas,
juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat kebiadaan khusus orang
Arab, yang tidak mudah diketahui oleh bangsa-bangsa lain.
5. 5.
Sab’ah al ahruf
a)
Hadits tentang sab’ah al ahruf
عن ابن عبّاس رضي الله
عنهما انه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أفرأني جبريل على حرف فرا جعته
فلم أزل استزيده ويزيدنى حتى انتهى الى سبعة احروف.
”Dari
Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata: “Berkata Rasulullah SAW: “Jibril membacakan
kepadaku atas satu huruf, maka aku kembali kepadanya, maka aku terus-menerus
minta tambah dan ia menambahi bagiku hingga berakhir sampai tujuh huruf.” (HR. Bukhari Muslim).
ثم قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: ان هذا القرأن انزل على سبعة احرف فاقرأوا ما تيسر منه.
Artinya: “Bersabda
Rasul SAW: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka
bacalah kamu mana yang mudah daripadanya.” (HR. Bukhari Muslim)
b)
8 Mufassir
6. 6.
Ilmu Qira’at
a)
Qira’at adalah bentuk jamak dari
kata Qira’ah, yang secara bahasa berarti bacaan. Secara istilah, Al-Zarqani
mengemukakan qira’at sebagai:
مَذْهَبٌ يَذْهّبُ
إِلَيْه إِماَمٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْقُرَّاءِِ مُخَالِفًا بِهِ غَيْرَهُ فِى
النُّطْقِ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ مَعَ اتِّفَاقِ الرِّوَايَاتِ وَالطُّرُقِ
عَنْهُ سَوَاءٌ أَكَانَتْ هَذِهِ الْمُخَالَفَةُ فِى نُطْقِ الْحُرُوْفِ أَمْ فِى
نُطْقِ هَيْئَاتِهَا
“Suatu madzhab yang dianut oleh seorang
imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Quran serta
sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dari pengucapan huruf-huruf
maupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya”.
b)
ilmu Qiroat sebagai Istimbat hukum
c)
contoh Qiroat sebagai Istimbat hukum
Dengan
adanya perbedaan qiroat, adakalanya yang berpengaruh terhadap istinbath hukum
dan adakalanya tidak berpengaruh pada istinbath hukum. Diatara yang
berpengaruh pada istinbath hukum seperti surat al-Nisa’ ayat 43, yang berbunyi;
Ayat diatas menjelaskan bahwa salah satu penyebab yang mengharuskan seseorang
bertayamum dan dalam kondisi tidak ada air yaitu apabila ia telah “menyentuh”
wanita (لمستم النساء ). Sementara itu, Ibn Katsir, Nafi’, ‘Ashim, Abu ‘Amr dan Ibn
‘Amir membaca لامستم النساء . Sedangkan Hamzah dan al-Kisa’i membaca لمستم النساء .
Berdasarkan qiroat لمستم , ada tiga versi pendapat para ulama mengenai maknanya yaitu,
1) bersetubuh, 2) bersentuhan, 3) bersentuhan serta bersetubuh.
Demikian pula makna qiroat لامستم menurut kebanyakan ulama. Akan tetapi
Muhammad Ibn Yazid berpendapat bahwa yang lebih tepat makna لامستم adalah berciuman, karena kedua belah pihak (yang
berciuman) bersifat aktif, sementara makna لمستم adalah
menyentuh, karena pihak wanita (yang disentuh) tidak aktif .
Sehubungan dengan ini, para ulama berbeda pendapat
tentang apa sebenarnya yang dimaksud لمستم dalam ayat tersebut. Ibn Abbas, al-Hasan,
Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersetubuh.
Sementara Ibn Mas’ud, Ibn Umar, al-Nakha’i dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa
yang dimaksud adalah bersentuh kulit baik dalam persetubuhan maupun dalam
bentuk lainnya. Al-Razi berpendapat bahwa pendapat yang terakhir adalah lebih
kuat, karena kata al-lums dalam qiroat لمستم النساء makna hakikinya adalah menyentuh dengan
tangan. Menurut al-Razi, pada dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan
pengertian hakiki. Sementara kata mulamasat pada qiroat لامستم makna hakikinya
saling menyentuh dan bukan berarti bersetubuh.
Dalam pada itu, para ulama yang berpendapat bahwa kata
al-lums dalam ayat tersebut berarti bersetubuh, berargumentasi bahwa kata اللمس dan المس
terdapat dalam al-Quran dengan pengertian الجماع (bersetubuh). Seperti firman Allah وان طلقتموهن من قبل ان تمسوهن dan firman Allah فتحرير رقبة من قبل ان يتماسا . Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud kata tersebut adalah
bersentuh kulit, mereka berbeda pendapat pula pada rinciannya, yakni sebagai
berikut; - Imam Syafi’i berpendapat batal wudlu seorang laki-laki apabila ia
menyentuh anggota tubuh seorang wanita, baik dengan tangannya maupun dengan
anggota tubuh lainnya, - Al-Awza’i berpendapat apabila menyentuhnya dengan
tangan, maka batal wudlunya. Dan apabila menyentuhnya bukan dengan tangan maka tidak
batal wudlunya, - Imam Malik berpendapat apabila menyentuhnya disertai dengan
syahwat maka batal wudlunya. Tetapi bila menyentuhnya tidak disertai dengan
syahwat maka tidak batal wudlunya, - Ibn al-Majisyun berpendapat jika
menyentuhnya dilakukan secara sengaja maka batal wudlunya baik disertai dengan
syahwat maupun tidak. Dari uraian diatas bisa diambil kesimpulan bahwa
perbedaan qiroat dalam ayat diatas hanya berpengaruh terhadap cara istinbath
hukum, dimana menurut sebagian ulama versi qiroat لمستم
النساء sedikit lebih
mempertegas pendapat, yang dimaksud dengan لامستم
النساء dalam ayat tersebut
adalah al-lums dalam arti hakiki yaitu “bersentuh kulit” antara laki-laki dan
perempuan.
Adapun qiroat yang tidak berpengaruh terhadap
istinbath hukum seperti firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 95; Ayat diatas
menjelaskan bahwa bila seseorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan
dengan sengaja maka salah satu alternatif dendanya yaitu memberi makan
orang-orang miskin (او كفارة طعام مساكين ) seimbang dengan harga binatang ternak
yang akan digunakan untuk pengganti binatang ternak yang dibunuhnya. Sehubungan
dengan ayat di atas, Ibn Katsir, ‘Ashim, Abu ‘Amr, Hamzah dan al-Kisa’i membaca
او كفارة طعام مساكين dengan cara lafat tho’am dijadikan khabar dari mubtada’
mahdzuf. Sedangkan Nafi’ dan Ibn ‘Amir membaca dengan cara mengidhofahkan lafat
kaffarah pada lafat tho’am tanpa terjadi perubahan hukum yang terkandung di
dalamnya.
7. 7.
Israiliyat adalah berita yang
dinukil dari orang Bani Israil, baik yang beragama Yahudi atau Nasrani. Dan
umumnya berasal dari masyarakat Yahudi.
Ditinjau
dari statusnya, israiliyat dibagi menjadi 3:
1)
berita yang diakui kebenarannya
dalam Islam. Berita israiliyat semacam ini boleh dibenarkan. Dan yang menjadi standar
dalam hal ini adalah dalil Alquran atau hadis shahih.
2)
berita yang didustakan dalam
Islam; berita semacam ini statusnya batil, dan wajib diingkari. Misal, Nabi Isa adalah putra
Allah
3)
berita yang tidak dibenarkan dan
tidak didustakan dalam Islam. Status berita semacam ini disikapi pertengahan
(tawaquf), tidak boleh didustakan, karena bisa jadi itu benar, dan tidak
dibenarkan, karena bisa jadi itu dusta.
8. 8.
kegunaan dan manfaat belajar ulumul Qur’an
§
Tanpa mempelajari Uluumul
Qur-an sebenarnya seseorang akan kesulitan memahami makna yang terkandung dalam
Al Qur-an, bahkan bisa jadi malah tersesatkan. Apalagi ada 2 jenis ayat yaitu
ayat-ayat muhkamaat dan mutsayabihaat. Sejak masa nabi Muhammad pun, terkadang sahabat memerlukan
penjelasan nabi apa yang dimaksud dalam ayat-ayat tertentu. Sehingga muslimin
yang hidup jauh sepeninggal Nabi S.a.w, terutama bagi yang ingin memahami
kandungan Al Qur-an dituntut untuk mempelajari ilmu tersebut.
Adapun manfaat mempelajari Ulumul Qur’an antara lain adalah:
Adapun manfaat mempelajari Ulumul Qur’an antara lain adalah:
§
Mampu menguasai berbagai
ilmu pendukung dalam rangka memahami makna yang terkandung dalam al-Qur`an. Membekali
diri dengan persenjataan ilmu pengetahuan yang lengkap, dalam rangka membela
al-Qur`an dari berbagai tuduhan dan fitnah yang muncul dari pihak lain.
[1] Itmamu
al-Dirayah, 189
[2]Hamdan Husein Batubara, Pengertian Ulum Alquran dan Hubungannya dengan Ilmu Tafsir dan Usul Tafsir
[4] Ibid.,
h. 182-187
[5] Ibid.,
h. 195-196.
[7] H.A.
Athaillah, op.cit., h.195-197.
[8] H.A.
Athaillah, op.cit., h. 197.
[9] Ibid.,
h. 203-204.
[10] Ibid,
h. 206
[11] Abdul
Djalal, Ulumul Qur’an,(dunia ilmu: Surabaya, 2009),167.
[12] Rosihan
Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Pustaka Setia: Bandung, 2008), 129.
[13] Abdul
Jalal H.A. op.cit. h. 244.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar