لا يكلف الله نفسا إلاوسعها

Rabu, 19 Februari 2014

JAWABAN ULUMUL QUR'AN SEMESTER I (PROGRAM BEA SISWA GURU PAI STIA-WS 2013)



Jawablah pertanyaan-pertanyaan dibawah ini dengan jelas !

  1. Tentang Ulumul Qur’an :
a.       Jelaskan pengertian Ulumul Qur’an segi lughawi dan istilahi !
b.      Bagaimana hubungan Ulumul Qur’an dengan tafsir Al Qur’an ?
c.       Jelaskan lingkup pembahasan Ulumul Qur’an !
  1. Al Qur’an dijamin kemurniannya oleh Allah sehingga sampai saat ini tanpa ada keraguan sama sekali atas kebenarannya.
a.       Jelaskan faktor-faktor yang menjamin kemurnian al Qur’an !
b.      Berikan dalil yang mendukung atas faktor tersebut !
c.       Bagaimana pemeliharaan al Qur’an pada masa Nabi saw  ?
  1. Tentang Fawatihus Suwar :
a.       Apa itu fawatihus suwar ?
b.      Jelaskan macam-macam  fawatihus suwar ! berikan contohnya.
  1. Di dalam ulumul Qur’an terdapat istilah tasyabuh atau mutasyabihat :
a.       Jelaskan maksudnya  !
b.      Jelaskan sebab-sebab terjadinya tasyabuh/mutasyabih dalam al Qur’an !
c.       Berikan contohnya ?
  1. Al Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf/sab’ah al ahruf .
a.       Tuliskan hadits tentang sab’ah  al ahruf !
b.      Ada 8  Mufasir yang memberikan interpretasi mengenai maksud sab’ah al ahruf. Jelaskan !
6. Ilmu Qiraat :
     a. Jelaskan pengertian Ilmu Qiraat !
     b. Uraikan ilmu Qiroat sebagai Istimbat hukum !
c. Berikan contoh minimal 2 ilmu Qiraat sebagai Istimbat hukum dan berikan  alasan atau penjelasannya !
7. Jelaskan apa saja yang kamu ketahui tentang  Israiliyat
8. Apa kegunaan dan manfaat belajar ulumul Qur’an ? Jelaskan














Jawaban          :

1.    1Pengertian dan Lingkup pembahasan Ulumul qur’an
a.       Pengertian ulumul qur’a
§  Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya.
§  Sedangkan menurut terminologi adalah :
علم يبحث فيه عن احوال الكتاب العزيز من  جهة نزوله وسنده وادابهوالفاظه ومعانيه المتعلقة بالاحكام وغير ذالكّ.
“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.[1]

b.      hubungan Ulumul Qur’an dengan tafsir Al Qur’an
Ilmu Tafsir adalah salah satu organ tubuh ulum Alquran yang digunakan untuk memahami Alquran dari segi pengungkapan petunjuk, kandungan-kandungan hukum, dan makna-makna yang terkandung di dalam lafadzh-lafadzh Alquran yang masih samar pengertiannya. Sementara Usul tafsir juga adalah suatu cabang dari ulum Alquran yang membahas ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah yang diperlukan dan harus diketahui untuk menafsirkan Alquran.[2]

c.       Lingkup pembahasan Ulumul Qur’an
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung

2.    2..  Al Qur’an dijamin kemurniannya oleh Allah sehingga sampai saat ini tanpa ada keraguan sama sekali atas kebenarannya.
a.       faktor-faktor yang menjamin kemurnian al Qur’an
b.      dalil yang mendukung atas faktor tersebut.
1)      Masa Turunnya
Al-Qur-an diturunkan secara berangsur-angsur dalam waktu lebih kurang 23 tahun. Menurut beberapa riwayat, setelah bi`tsah, Rosululloh Saw hidup di Mekah selama 13 tahun, kemudian hijrah kemadinah dan bermukim dikota ini hingga akhir hayatnya, yakni selama 10 tahun. Ibn Abbas mengatakan, Rosululloh diangkat sebagai nabi dan rosul dalam usia 40 tahun. Setelah bi`tsah beliau tinggal di Mekah 13 Tahun dan selama itu beliau menerima wahyu. Beliau wafat dalam usia 63 tahun. Beberapa sumber riwayat memperkirakan masa turunnya wahtu seluruhnya 20 tahun, tetapi ada juga yang memperkirakan kurang lebih 25 tahun, namun yang masyhur adalah 23 tahun. Menurut al-Sya`bi, al-Qur-an mula-mula turun pada malam qodar (lailatul qodar). Setelah itu, ia terus diturunkan secara berangsur-angsur. Pendapat ini berdasarkan pada firman Alloh Swt.

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan.” {Q.S Al-Qodr (17) : 106}

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلا

“Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” {Q.S Al-Isro (17) : 106}

Tujuan Al-Qur-an diturunkan secara berangsur-angsur itu adalah agar Rosululloh Saw dan para sahabatnya dapat menyimak, memahami, mengamalkan, dan memeliharanya dengan baik. Rosululloh membacakannya di hadapan para sahabatsecara perlahan-lahan dan para sahabat membacanya sedikit demi sedikit.

Selain itu al-Qur-an diturunkan berkaitan dengan suatu peristiwa, baik bersifat individual maupun social (kemasyarakatan). Dengan cara seperti ini proses pemeliharaan kemurnian al-Qur-an berjalan dengan sendirinya.
Demikian pula mengenai lailatul qodr yang menandai permulaan turunnya al-Qur-an. Penetapan mala mini dimaksudkan agar manusia dapat mengingatnya, sehingga ia akan terus diingat dan dikenang. Ini juga merupakan bentuk lain dari upaya pemeliharaan kemurnian al-Qur-an, disamping menunjukan ke agunganNya.

Disetiap zaman Alloh menciptakan orang-orang yang dengan mudah dapat menghafal ayat-ayat al-Qur-an. Alloh Swt menegaskan dalam firmanNya:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” {Q.S al-Hijr (15) : 9}


2)      Yang Menyampaikan Al-Qur-an.
Al-Qur-an memberi informasi bahwa ia diturunkan dari lauh mahfudz ke dunia melalui Malaikat Jibril. Lauh Mahfudz adalah tempat yang terpelihara semacam disket dalam system computer yang terpelihara secara apik dari gangguan dan pengrusakan. Hal ini dijelaskan dalam ayat yang berbunyi:


بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ. فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ.

“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lohmahfuz.” {Q.S Al-Buruj (85) : 21-22}.
3)      Penerima Al-Qur-an
Sebagaimana disebutkan di atas, wahyu dari Alloh Swt disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril. Sebagai penerima wahyu, Nabi Muhammad dianugrahi Alloh sifat-sifat mulia yang mustahil ia berdusta. Akhlaq beliau sangat agung. Hal ini ditegaskan Alloh dalam firmanNya:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”{Q.S Al-Qolam (68) : 4}
4)      Para Penulis Al-Qur-an
Al-Qur-an terdiri dari 6666 ayat yang dihimpun dalam 114 surat, mulai dari surat al-fatihah sampai surat an-Nas, kemurnian dan keaslian ayat-ayat tersebut dapat dilihat antara lain dari proses penulisannya. Wahyu pertama yang diterima Nabi ialah ayat 1 s/d 5 surat al-Alaq, ketika beliau berada di Gua Hiro, sedangkan wahyu terakhir adalah ayat ke 3 surat al-Maidah, pada waktu beliau wukuf di arofah melakukan HAji Wada` 9 Zulhijah, tahun ke 10 Hijrah, bertepatan dengan 7 Maret 632 M. Salah satu faktor yang dapat menjamin keaslian dan kemurnian al-Qur-an ialah teks al-Qur-an itu ditulis sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Rosululloh. Penulisannya dilakukan dihadapan beliau sendiri. Untuk keperluan penulisan tersebut Rosululloh mengerahkan sejumlah penulis seperti Khulafaur Rosyidin yang empat, Amir bin Fuhairoh, Ubay bin Ka`ab, Tsabit bin Qois bin Samas, Zaid bin Tsabit, Mu`awiyyah bin Abi Sufyan, termasuk saudara Abu Sufyan: Yazid bin Syu`bah, Zubair bin Awwam, Kholid bin Walid, `Alla bin Al-Hadhromy, Amr bin `Ash, Abdullah bin Al-Hadromy, Muhammad bin Maslamah, dan Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin salul.
c.       pemeliharaan al Qur’an pada masa Nabi saw  
1)      Pengumpulan Al-Qur’an dalam dada berupa penghafalan oleh para sahabat
Al-Qur’anul Karim turun kepada Nabi yang ummy (tidak bisa baca-tulis). Karena itu perhatian Nabi hanyalah dituangkan untuk sekedar menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat menguasai Al-Qur’an persis sebagaimana halnya Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah itu ia membacakannya kepada orang-orang dengan begitu terang agar merekapun dapat menghafal dan memantapkannya. Yang jelas adalah bahwa Nabi seorang yang ummy dan diutus Allah di kalangan orang-orang yang ummy pula, Allah berfirman:
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ  
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dengan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah”. (Al-Jumu’ah: 2).[3]
Begitu Al-Qur’an datang kepada mereka dengan jelas, tegas ketentuannya dan kekuasaannya yang luhur, mereka merasa kagum, akal fikiran mereka tertimpa dengan Al-Qur’an, sehingga perhatiannya dicurahkan kepada Al-Qur’an. Mereka menghafalnya ayat demi ayat dan surat demi surat. Mereka tinggalkan syair-syair karena merasa memperoleh ruh/jiwa dari Al-Qur’an.
Ada beberapa faktor yang mendorong minat mereka untuk menghafal kitab suci Al-Qur’an itu dengan segera, yaitu :
1.      Al-Qur’an berisi berbagai ajaran dan petunjuk tentang kehidupan yang baik, beradab, dan sejahtera, baik lahir maupun batin. Ajaran-ajaran dan petunjuk-petunjuk tersebut belum pernah mereka miliki sebelumnya. Untuk menjaga agar ajaran-ajaran dan petunjuk-petunjuk tersebut tidak hilang, mereka segera menghafal ayat-ayat al-Qur’an yang telah mereka terima itu dengan sebaik-baiknya.
2.      Belajar membaca dan mengajarkan al-Qur’an kepada orang lain merupakan kegiatan ibadah yang paling utama dalam Islam.
3.      Orang yang terbaik dalam membaca al-Qur’an dan terbanyak hafalannya akan mendapat prioritas untuk ditunjuk menjadi imam shalat berjama’ah.
4.      Rasulullah saw sendiri telah memerintahkan kepada para sahabat agar selalu memelihara al-Qur’an dengan sebaik-baiknya. Selain memerintahkan, Rasulullah saw juga mengingatkan kepada para sahabat yang telah melupakan ayat-ayat al-Qur’an yang telah dihafalnya.[4]
Dengan adanya dorongan beberapa faktor itulah, dapat kita simpulkan bahwa sebelum Rasulullah saw wafat, seluruh isi al-Qur’an telah terpelihara secara utuh dalam hafalan sejumlah besar sahabat.

2)      Pegumpulan dalam bentuk tulisan oleh para sahabat
Di samping telah menyuruh dan mendorong minat para sahabat untuk menghafal al-Qur’an, Rasulullah saw juga telah menyuruh mereka menuliskan ayat-ayat dari kitab suci itu ke atas benda apa saja yang bisa ditulisi, seperti pelepah tamar, kepingan batu, potongan kayu, sobekan kain, keratin tulang, dan lembaran kulit binatang yang sudah disamak. Praktik yang demikian itu telah dijelaskan oleh ‘Utsman ibn ‘Affan ra., berikut ini:
Surat yang banyak ayatnya sering diturunkan kepada Rasulullah saw. Karena itu, apabila sesuatu dari surat itu diturunkan, beliau memanggil beberapa orang yang dapat menulis, kemudian beliau memanggil beberapa orang yang dapat menulis seraya berkata, “Letakkanlah ayat-ayat ini di surat yang di dalamnya disebutkan begini-begini. Surat al-Anfal termasuk surat-surat yang pertama kali diturunkan di Madinah dan surat al-Baraah termasuk surat yang terakhir diturunkan, padahal surat itu sama ceritanya dengan surat al-Anfal. Karena itu, aku menganggapnya merupakan bagian dari surat al-Anfal. Rasulullah saw wafat dan beliau tidak pernah menjelaskan hal itu kepada kami.[5]
Rasulullah SAW mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Qur’an beliau memerintahkan kepada mereka menulisnya, untuk memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, sehingga penulisan tesebut dapat melahirkan hafalan dan memperkuat ingatan.
Penulis-penulis tersebut adalah sahabat pilihan yang dipilih oleh Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan indah tulisannya agar mereka dapat mengemban tugas yang mulia ini.[6]
Jumlah sahabat yang telah menuliskan al-Qur’an cukup banyak dan tidak kurang dari 43 orang. Yang terkenal, antara lain Abu Bakar, Umar ibn al-Khaththab, Usman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abu Sufyan dan dua orang putranya, yaitu Mu’awiyah dan Yazid, Zaid ibn Tsabit, Sa’id ibn al-‘Ash dan dua orang putranya, yaitu Abban dan Khalid, Zubair ibn al-Awwam, Thalhah ibn ‘Ubaidillah, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Amir ibn Fuhairah, Abdullah ibn Rawahah, Abdullah ibn Sa’id ibn Sarah, Ubai ibn Ka’ab, Tsabit ibn Qais, Hanzhalah ibn al-Rabi’, Syurahbil ibn Hasanah, ‘Ala ibn al-Hadlrami, Khalid ibn al-Walid, ‘Amr ibn ‘Ash, Mughirah ibn Syu’bah, Mu’aiqib ibn Abi Fathimah, Huzaifah al-Yamani, dan Huwaithib ibn Abd al-‘Uzza al-Amiri.
Mereka itu semuanya disebut katibu al-wahyi (para penulis wahyu). Meskipun demikian, yang paling sering bersama Rasulullah saw dan paling banyak menuliskan ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Madinah adalah Zaid ibn Tsabit. Hal ini dikarenakan ia adalah sekretaris pribadi Rasulullah saw. Sesuai dengan jabatannya itu, maka ia selalu menyertai Rasulullah saw ke mana dan di mana saja beliau berada dan ia pula yang pertama kali diminta beliau untuk menuliskan sesuatu yang diperlukan, termasuk menuliskan ayat-ayat al-Qur’an yang baru diturunkan. Adapun para penulis wahyu yang lain baru diminta Rasulullah saw untuk menuliskan ayat-ayat al-Qur’an apabila Zaid ibn Tsabit berhalangan. Itulah sebabnya, ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis oleh penulis-penulis wahyu itu tidak sebanyak ayat yang ditulis Zaid.[7]
Perhatian Rasulullah saw terhadap penulisan ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya setelah beliau berada di Madinah, tetapi juga selagi beliau masih berada di Mekkah. Meskipun pada waktu itu jumlah kaum Muslim masih sedikit dan sarana untuk penulisan masih langka serta kesempatan untuk menuliskan ayat-ayat al-Qur’an masih terbatas, catatan-catatan atau naskah-naskah yang berisi ayat-ayat al-Qur’an dapat saja beredar di antara mereka.[8]
Akhirnya, dari uraian  di atas dapat disimpulkan bahwa semua ayat al-Qur’an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw telah ditulis oleh para penulis wahyu sebagaimana yang telah didiktekan beliau kepada mereka, tanpa mengalami perubahan sedikit pun.

3)      Penyusunan Semua Ayat Dan Surat Al-Qur’an Seperti Sekarang 
Untuk menjaga kemurnian al-Qur’an, maka Rasulullah saw tidak hanya menyuruh para sahabat menghafal dan menuliskan ayat-ayat al-Qur’an secara utuh, tetapi juga sekaligus menetapkan ayat-ayat al-Qur’an pada suratnya masing-masing.
Ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah saw telah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk meletakkan ayat-ayat al-Qur’an pada suratnya masing-masing. Di samping itu, masih banyak lagi riwayat yang berisi dukungan terhadap pernyataan tersebut. Misalnya, seperti sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Darda,’Siapa saja yang telah menghafal 10 ayat dari permulaan surat al-Kahfi, ia akan terpelihara dari fitnah Dajjal.’ Begitu pula dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Umar ra. Katanya, “Ia sering bertanya kepada Rasulullah saw tentang masalah kalalah.” Beliau kemudian menusukkan jari-jari beliau ke dadanya seraya bersabda, “Ayat shaif yang terdapat di surat an-Nisa sudah cukup untukmu.”
Ketiga hadis terakhir tersebut telah memberikan isyarat kepada kita bahwa ayat-ayat al-Qur’an telah tersusun secara berurutan. Sebab, jika tidak dipahami demikian, bagaimana mungkin seorang sahabat dapat mengetahui urutan ayat-ayat al-Qur’an di dalam suatu surat sebagaimana yang telah disebutkan dalam ketiga riwayat tersebut kalau tidak ada susunan ayat al-Qur’an pada setiap surat yang telah baku dan diikuti oleh semua orang.
Selain itu, telah pula terbukti bahwa Rasulullah saw telah membaca beberapa surat al-Qur’an, seperti al-Baqarah, Ali-Imran, dan an-Nisa yang ayat-ayatnya masing-masing sudah tersusun secara konsisten, baik dalam shalat maupun khutbah Jum’at dengan didengar oleh para sahabat. Demikian pula, Rasulullah saw telah membaca surat al-A’raf pada shalat maghrib, membaca surat Alif Lam Mim Tanzil al-Kitab la raiba fih al-Sajdah dan surat Hal ata ‘ala al-Insan al-Dahr pada shalat Subuh Jum’at dan membaca surat al-Jum’ah dan surat al-Munafiqun pada shalat Jum’at serta membaca surat Qaf dalam khutbah beliau.
Riwayat-riwayat di atas juga telah membuktikan kepada kita bahwa pada masa Rasulullah saw ayat-ayat al-Qur’an telah disusun beliau satu-per satu secara berurutan dalam surat masing-masing. Para sahabat juga jika membaca dan menghafal suatu surat atau beberapa surat al-Qur’an atau seluruh isi al-Qur’an selalu mengikuti susunan ayat yang telah mereka dengar dari Rasulullah saw.[9]
Di samping itu lagi, bagaimana mungkin para sahabat dapat secara terus-menerus membaca dan menghafal al-Qur’an yang berisi berbagai macam tuntutan dan banyak ayat itu, – baik pada waktu shalat maupun pada waktu di luar shalat, baik pada waktu belajar maupun waktu mengajarkan al-Qur’an kepada orang lain – jika tidak ada susunan dan urutan ayat yang sudah baku dan tetap pada setiap surat? Jika kepada setiap orang diberikan kebebasan membaca al-Qur’an menurut susunannya sendiri, akan terdapat berbagai versi susunan ayat pada setiap surat. Kalau sudah demikian jadinya, akan muncul kesulitan di kalangan sahabat untuk mengontrolnya dan mengoreksi terjadinya kesalahan baca, padahal Rasulullah saw sendiri telah berpesan, “Apabila salah seorang di antara kalian telah membuat kesalahan atau tertinggal suatu ayat dalam shalatnya, yang mendengarnya harus meluruskannya dan memberitahukan ayat yang tertinggal itu.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pada masa Rasulullah saw semua ayat al-Qur’an telah disusun oleh beliau dalam suratnya masing-masing. Bahkan, menurut al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi ‘Ulum Alqur’an dan al-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum Alqur’an, seluruh kaum Muslim juga sudah sepakat tentang hal itu.[10]

3.      3.Tentang Fawatihus suwar
a.       Pengertian Fawatihus suwar
fawatihis suwar adalah ilmu cabang ulumul qur’an yang khusus membahas pembukaan surah-surah al-qur’an. Ilmu ini penting sekali untuk dipelajari supaya orang akan bisa mengetahui rahasia/hikmah Allah Swt di dalam pembukaan surah-surah kitab al-qur’an.[11]
Dalam catatan As-Suyuthi, ada kurang lebih 20 pendapat yang berkaitan dengan persoalan ini. Dilafalkan secara terpisah sebanyak huruf yang berdiri sendiri. Huruf Al-muqaththa‘ah (huruf yang terpotong potong ) di sebut fawatih suwar (pembukaan surat) menurut as-suyuthi tergolong dalam ayat mutasyabihah. Itulah sebabnya, banyak telaah tafsir untuk mengungkapkan rahasia yang terkandung di dalamnya.[12]



b.      Macam-macam Fawatihus suwar
c.       Contoh fawatihus suwar
1)      Istiftah bi al-Sana' (Pembukaan dengan memakai pujian kepada Allah). Terdapat pada 14 surah, yang terbagi menjadi dua yaitu:
Isbat li sifat al-Madh (penetapan untuk sifat-sifat terpuji) seperti lafadz tahmid terdapat pada 5 surah (surah ke- (1), (6), (18), (34), dan (35). dan  Lafadz tabarak, terdapat pada dua surah (surah ke- (25) dan (67).
2)      Istiftah bi al-Huruf al-Muqatta'ah (Pembukaan dengan memakai huruf huruf hijaiyyah yang terputus-putus). Pembukaan seperti ini terdapat di 29 surat dalam al-Qur'an, yang disusun dalam 14 rangkaian huruf sebagai berikut:
Terdiri dari satu huruf (Sad, Qaf, dan Nun), terdapat pada tiga surah, yaitu: surah ke- 38, 60, dan 68.
Terdiri dari dua huruf, terdapat pada sepuluh surah. Tujuh surah diantaranya dinamakan haamim, karena surah-surah ini dimulai dengan huruf ha dan mim. yaitu surah ke (40), (41), (42), (43), (44), (45), (46). Tiga surah yang lainnya adalah surah ke- (20) yang diawali dengan (طه), surah ke-27 yang diawali dengan طس dan surah ke-28. (يس) Terdiri dari tiga huruf yang berjumlah tiga belas surah., yaitu surah ke- (2), (3), (29), (30), (31), dan (32). Adapun lima surah. Yaitu surah ke- (10), (11), (12), (14), (15).  Dua buah surah lainnya yang diawali dengan tiga huruf adalah surah ke-(26) dan (28).
Terdiri dari empat huruf, yaitu surah al-A’raf , dan surah al- Ra’ad Terdiri dari lima huruf, yaitu surah Maryam (19).
3)      Istiftah bi al-Nida' (Pembukaan dengan memakai kata-kata panggilan atau seruan) yang terdapat pada 10 surah. Panggilan ini ada dua macam, yaitu:
Panggilan untuk Nabi terdapat pada surah ke-(33), (65), (66), (73), (74). Panggilan untuk umat manusia terdapat pada surah ke-(4), (5), (22), (49), (60).
4)      Istiftah bi al-Jumal al-Khabariyyah (Pembukaan dengan memakai kalimat berita). Adapun struktur kalimat berita yang dipakai pada awal surat ada dua macam:
Struktur Jumlah Ismiyah, yang menjadi pembukaan 11 surah, yaitu surah ke- (9), (24), (39), (47), (48), (55), (69), (71), (97), (101), (108).  Jumlah Fi'liyah, yang menjadi pembuka 12 surah sebagai berikut: surah ke-(8), (16), (21), (23), (54), (58), (70), (75), (80), (90), (98), (102).
5)      Istiftah bi al-Qasam (Pembukaan dengan memakai kata-kata sumpah). Sumpah yang digunakan dalam al-Qur'an ada tiga macam, yaitu:
Sumpah dengan benda-benda angkasa, terdapat pada 8 surah, yaitu: surah ke-(37), (53), (77), (79), (85), (86), (89), dan (91).
Sumpah dengan benda-benda yang ada di bumi, terdapat pada 4 surah yaitu: surah ke- (51), (52), (95), (100).
Sumpah dengan waktu, terdapat pada tiga surah, yaitu surah ke- (92), (93), (103).
6)      Istiftah bi al-Syart (Pembukaan dengan memakai kata-kata syarat)
Pembukaan surat dengan menggunakan kata syarat dapat dijumpai di 7 surat dalam al-Qur'an, yaitu surah ke- (56), (63), (81), (82), (84), (99), (110)
7)      Istiftah bi al-Amr (Pembukaan dengan menggunakan kata kerja perintah)
Menurut penelitian para ahli, ada enam kata kerja perintah yang dipakai dalam pembukaan al-Qur'an, yaitu: Qul, dan Iqra'. Terdapat pada 6 surah, yaitu: surah ke- (72), (96), (109), (112), (113), (114).
8)       Istiftah bi al-Istifham (Pembukaan dengan pertanyaan). Bentuk pertanyaan ini ada dua macam, yaitu:
Pertanyaan positif, bentuk pertanyaan dengan kalimat positif, terdapat  pada 4 surah yaitu surah ke- (76), (78), (88), (107).
Pertanyaan negatif, bentuk pertanyaan dengan kalimat negatif, terdapat pada dua surah yaitu surah ke-( 94), dan surah ke- (105),
9)      Istiftah bi al-Du'a' (Pembukaan dengan doa)
Pembukaan dengan doa ini terdapat dalam tiga surah, yaitu: surah ke-(83), (104), (111)
10)  Istiftah bi al-Ta'lil (Pembukaan dengan alasan)
Pembukaan dengan alasan ini hanya terdapat dalam satu surat saja, yaitu surah ke-(106).
4.      4. Tasyabuh atau Mutasyabihat dalam Ulumul’Qur’an
a)      Pengertian Mutasyabihat
ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqatha’ah. (Kelompok Ahlussunnah)
b)      Adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Quran adalah disebabkan tiga hal; yaitu karena kesamaran pada lafal, pada makna, dan pada lafal dan maknanya.[13]
§  Kesamaran pada Lafal Sebagian adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Quran itu disebabkan karena kesamaran pada lafal, baik lafal yang masih mufrad ataupun yang sudah murakab. Kesamaran pada lafal mufrad, maksudnya adalah ada lafal-lafal mufrad yang artinya tidak jelas,baik disebabkan lafalnya yang gharib (asing), atau musytarak (bermakna ganda). Contoh lafal mufrad seperti kata أَبًّا dalam ayat 31 surah Abasa : وَفاَكِهَةً وَأَبًّا (dan buah-buahan serta rerumputan). Kata abban tersebut jarang terdapat dalam al-Quran, sehingga asing. Kalau tidak ada penjelasan dari ayat berikutnya sulit dimengerti.
§  Kesamaran pada Makna Ayat Terkadang terjadinya ayat mutasyabihat itu disebabkan karena adanya kesamaran pada makna ayat. Contohnya seperti makna dari sifat-sifat Allah swt, makna ihwal hari kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur dan siksa neraka. Akal pikiran manusia tidak akan bisa menjangkau semua hal tersebut, sehingga maknanya sulit ditangkap. Hal ini seperti hadis Nabi saw :
مَا لاَ عَيْنٌ رَأَتْ وَلاَ اُذُنٌ سَمِعَتْ وَلاَ خَطَرٌ فِى قَلْبِ اْلبَشَرِ
Kesamaran dalam hal-hal tersebut, tidak karena lafalnya yang asing, bermakna ganda, atau karena tertibnya melainkan karena makna dari lafal-lafalnya tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia.
§  Kesamaran pada Lafal dan Makna Ayat Terkadang adanya ayat mutasyabihat terjadi disebabkan kesamaran dalam lafal dan makna ayat-ayat itu. Contoh Q.S. al-Baqarah/2:189.  Orang yang tidak mengerti adat istiadat bangsa Arab pada masa jahiliah, tidak akan paham pada maksud ayat tersebut. Sebab kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena terlalu ringkas, juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat kebiadaan khusus orang Arab, yang tidak mudah diketahui oleh bangsa-bangsa lain.
5.    5.  Sab’ah al ahruf
a)      Hadits tentang sab’ah al ahruf
عن ابن عبّاس رضي الله عنهما انه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أفرأني جبريل على حرف فرا جعته فلم أزل استزيده ويزيدنى حتى انتهى الى سبعة احروف.

”Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata: “Berkata Rasulullah SAW: “Jibril membacakan kepadaku atas satu huruf, maka aku kembali kepadanya, maka aku terus-menerus minta tambah dan ia menambahi bagiku hingga berakhir sampai tujuh huruf.” (HR. Bukhari Muslim).

ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ان هذا القرأن انزل على سبعة احرف فاقرأوا ما تيسر منه.

Artinya: “Bersabda Rasul SAW: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah kamu mana yang mudah daripadanya.” (HR. Bukhari Muslim)
b)      8 Mufassir

6.  6.    Ilmu Qira’at
a)      Qira’at adalah bentuk jamak dari kata Qira’ah, yang secara bahasa berarti bacaan. Secara istilah, Al-Zarqani mengemukakan qira’at sebagai:
مَذْهَبٌ يَذْهّبُ إِلَيْه إِماَمٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْقُرَّاءِِ مُخَالِفًا بِهِ غَيْرَهُ فِى النُّطْقِ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ مَعَ اتِّفَاقِ الرِّوَايَاتِ وَالطُّرُقِ عَنْهُ سَوَاءٌ أَكَانَتْ هَذِهِ الْمُخَالَفَةُ فِى نُطْقِ الْحُرُوْفِ أَمْ فِى نُطْقِ هَيْئَاتِهَا
“Suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Quran serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dari pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya”.

b)      ilmu Qiroat sebagai Istimbat hukum
c)      contoh Qiroat sebagai Istimbat hukum
Dengan adanya perbedaan qiroat, adakalanya yang berpengaruh terhadap istinbath hukum dan adakalanya tidak berpengaruh pada istinbath hukum. Diatara yang berpengaruh pada istinbath hukum seperti surat al-Nisa’ ayat 43, yang berbunyi; Ayat diatas menjelaskan bahwa salah satu penyebab yang mengharuskan seseorang bertayamum dan dalam kondisi tidak ada air yaitu apabila ia telah “menyentuh” wanita (لمستم النساء ). Sementara itu, Ibn Katsir, Nafi’, ‘Ashim, Abu ‘Amr dan Ibn ‘Amir membaca لامستم النساء . Sedangkan Hamzah dan al-Kisa’i membaca لمستم النساء . Berdasarkan qiroat لمستم , ada tiga versi pendapat para ulama mengenai maknanya yaitu, 1) bersetubuh, 2) bersentuhan, 3) bersentuhan serta bersetubuh. 
Demikian pula makna qiroat لامستم menurut kebanyakan ulama. Akan tetapi Muhammad Ibn Yazid berpendapat bahwa yang lebih tepat makna لامستم adalah berciuman, karena kedua belah pihak (yang berciuman) bersifat aktif, sementara makna لمستم adalah menyentuh, karena pihak wanita (yang disentuh) tidak aktif . 
Sehubungan dengan ini, para ulama berbeda pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud لمستم dalam ayat tersebut. Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersetubuh. Sementara Ibn Mas’ud, Ibn Umar, al-Nakha’i dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersentuh kulit baik dalam persetubuhan maupun dalam bentuk lainnya. Al-Razi berpendapat bahwa pendapat yang terakhir adalah lebih kuat, karena kata al-lums dalam qiroat لمستم النساء makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Menurut al-Razi, pada dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakiki. Sementara kata mulamasat pada qiroat لامستم makna hakikinya saling menyentuh dan bukan berarti bersetubuh. 
Dalam pada itu, para ulama yang berpendapat bahwa kata al-lums dalam ayat tersebut berarti bersetubuh, berargumentasi bahwa kata اللمس dan المس terdapat dalam al-Quran dengan pengertian الجماع (bersetubuh). Seperti firman Allah وان طلقتموهن من قبل ان تمسوهن dan firman Allah فتحرير رقبة من قبل ان يتماسا . Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud kata tersebut adalah bersentuh kulit, mereka berbeda pendapat pula pada rinciannya, yakni sebagai berikut; - Imam Syafi’i berpendapat batal wudlu seorang laki-laki apabila ia menyentuh anggota tubuh seorang wanita, baik dengan tangannya maupun dengan anggota tubuh lainnya, - Al-Awza’i berpendapat apabila menyentuhnya dengan tangan, maka batal wudlunya. Dan apabila menyentuhnya bukan dengan tangan maka tidak batal wudlunya, - Imam Malik berpendapat apabila menyentuhnya disertai dengan syahwat maka batal wudlunya. Tetapi bila menyentuhnya tidak disertai dengan syahwat maka tidak batal wudlunya, - Ibn al-Majisyun berpendapat jika menyentuhnya dilakukan secara sengaja maka batal wudlunya baik disertai dengan syahwat maupun tidak. Dari uraian diatas bisa diambil kesimpulan bahwa perbedaan qiroat dalam ayat diatas hanya berpengaruh terhadap cara istinbath hukum, dimana menurut sebagian ulama versi qiroat لمستم النساء sedikit lebih mempertegas pendapat, yang dimaksud dengan لامستم النساء dalam ayat tersebut adalah al-lums dalam arti hakiki yaitu “bersentuh kulit” antara laki-laki dan perempuan. 
Adapun qiroat yang tidak berpengaruh terhadap istinbath hukum seperti firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 95; Ayat diatas menjelaskan bahwa bila seseorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan dengan sengaja maka salah satu alternatif dendanya yaitu memberi makan orang-orang miskin (او كفارة طعام مساكين ) seimbang dengan harga binatang ternak yang akan digunakan untuk pengganti binatang ternak yang dibunuhnya. Sehubungan dengan ayat di atas, Ibn Katsir, ‘Ashim, Abu ‘Amr, Hamzah dan al-Kisa’i membaca او كفارة طعام مساكين dengan cara lafat tho’am dijadikan khabar dari mubtada’ mahdzuf. Sedangkan Nafi’ dan Ibn ‘Amir membaca dengan cara mengidhofahkan lafat kaffarah pada lafat tho’am tanpa terjadi perubahan hukum yang terkandung di dalamnya. 

7.    7.  Israiliyat adalah berita yang dinukil dari orang Bani Israil, baik yang beragama Yahudi atau Nasrani. Dan umumnya berasal dari masyarakat Yahudi.
Ditinjau dari statusnya, israiliyat dibagi menjadi 3:
1)             berita yang diakui kebenarannya dalam Islam. Berita israiliyat semacam ini boleh dibenarkan. Dan yang menjadi standar dalam hal ini adalah dalil Alquran atau hadis shahih.
2)             berita yang didustakan dalam Islam; berita semacam ini statusnya batil, dan wajib diingkari. Misal, Nabi Isa adalah putra Allah
3)             berita yang tidak dibenarkan dan tidak didustakan dalam Islam. Status berita semacam ini disikapi pertengahan (tawaquf), tidak boleh didustakan, karena bisa jadi itu benar, dan tidak dibenarkan, karena bisa jadi itu dusta.

8.  8.    kegunaan dan manfaat belajar ulumul Qur’an

§  Tanpa mempelajari Uluumul Qur-an sebenarnya seseorang akan kesulitan memahami makna yang terkandung dalam Al Qur-an, bahkan bisa jadi malah tersesatkan. Apalagi ada 2 jenis ayat yaitu ayat-ayat muhkamaat dan mutsayabihaat. Sejak masa nabi Muhammad pun, terkadang sahabat memerlukan penjelasan nabi apa yang dimaksud dalam ayat-ayat tertentu. Sehingga muslimin yang hidup jauh sepeninggal Nabi S.a.w, terutama bagi yang ingin memahami kandungan Al Qur-an dituntut untuk mempelajari ilmu tersebut.
Adapun manfaat mempelajari Ulumul Qur’an antara lain adalah:
§  Mampu menguasai berbagai ilmu pendukung dalam rangka memahami makna yang terkandung dalam al-Qur`an. Membekali diri dengan persenjataan ilmu pengetahuan yang lengkap, dalam rangka membela al-Qur`an dari berbagai tuduhan dan fitnah yang muncul dari pihak lain.


[1] Itmamu al-Dirayah, 189

[2]Hamdan Husein Batubara, Pengertian Ulum Alquran dan Hubungannya dengan Ilmu Tafsir dan Usul Tafsir


[4] Ibid., h. 182-187
[5] Ibid., h. 195-196.
[7] H.A. Athaillah, op.cit.,  h.195-197.
[8] H.A. Athaillah, op.cit.,  h. 197.
[9] Ibid., h. 203-204.
[10] Ibid, h. 206
[11] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an,(dunia ilmu: Surabaya, 2009),167.
[12] Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Pustaka Setia: Bandung, 2008), 129.
[13] Abdul Jalal H.A. op.cit. h. 244.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar